Para pejabat Ditjen Pajak tampaknya tidak suka dengan kritik yang disampaikan berbagai kalangan terhadap kinerja penerimaan pajak, yang dalam dua tahun terakhir gagal mencapai target yang ditetapkan dalam APBN.
Pada tahun anggaran 2006, dari target Rp333 triliun (di luar PPh minyak dan gas) Ditjen Pajak hanya mampu merealisasikan Rp314,5 triliun. Berarti terjadi short fall penerimaan pajak Rp18,5 triliun.
Berbagai alasan disodorkan oleh pimpinan Ditjen Pajak untuk mencari pembenaran atas kegagalan tersebut. Mulai dari menurunnya basis penerimaan pajak, laju pertumbuhan yang tidak tercapai hingga absennya sistem ijon yang selama ini dijadikan alat untuk menurut short fall. Belakangan terungkap bahwa sistem ijon sebenarnya masih tetap dipakai.
Pada APBN 2007, kinerja pajak lebih parah. Dalam laporan yang disampaikan ke DPR, Ditjen Pajak mengakui pada semester I/2007 telah terjadi short fall Rp15 triliun dan pada semester II diprediksi Rp5 triliun. Itu sebabnya dalam APBN-P, Ditjen Pajak minta target pajak diturunkan hingga Rp20 triliun.
Apakah ada jaminan bahwa target yang sudah diturunkan itu akan tercapai? Maybe yes…., maybe no….!
Data penerimaan per Juni 2007 menunjukkan, 26 dari 31 Kantor Wilayah Ditjen Pajak realisasi penerimaannya di bawah angka yang dipatok kantor pusat Ditjen Pajak. Namun pada 13 Agustus 2007, Dirjen Pajak mengumumkan bahwa penerimaan pajak hingga akhir Juli mencapai Rp200,7 triliun atau setara dengan 52% dari target APBN-P.
Masalahnya, apakah angka tersebut valid? Sampai sekarang sistem informasi penerimaan dan pengeluaran APBN yang dimiliki Depkeu, modul penerimaan negara (MPN), masih amburadul. Mungkin akan lebih baik bila data itu disandingkan dengan angka dari Ditjen Perbendaharaan.
Rasio Pajak
Bukan sekali dua kali data atau informasi yang dikeluarkan Ditjen Pajak meragukan kebenarannya karena berbeda dengan data Depkeu. Misalnya, soal penerimaan perpajakan per akhir Maret lalu.
Antara data yang dikeluarkan Dirjen Pajak, Menteri Keuangan, Direktur Akuntansi dan Pencatatan serta Bapekti Depkeu, semuanya berbeda-beda.
Hal yang sama kini terulang lagi. Rasio pajak yang dikeluarkan Dirjen Pajak berbeda Depkeu, seperti dimuat dalam Nota Keuangan-Data Pokok APBN 2007-2008 yang disampaikan Presiden ke DPR. (lihat tabel)
Rasio pajak adalah perbandingan antara penerimaan pajak dan produk domestik bruto. Rasio ini umum digunakan untuk mengukur efektivitas dan kinerja administrasi perpajakan di suatu negara.
Rasio pajak versi Ditjen Pajak tiga tahun terakhir ternyata selalu lebih tinggi dibandingkan angka resmi yang dikeluarkan Depkeu. Tapi anehnya, untuk posisi 2001 hingga 2004 lebih rendah. Apakah perbedaan (deviasi) yang tidak konsisten ini mempunyai maksud-maksud tertentu?
Siapa yang harus bertanggung jawab atas perbedaan angka tersebut? Perbedaan angka-angka tersebut sangat signifikan. Apalagi bila angka rasio pajak itu dinominalkan. Untuk tahun 2006, selisih rasio pajak 1,3 setara dengan Rp43 triliun (berdasarkan PDB 2006).
Penerimaan Juga Beda
Ternyata data realisasi penerimaan pajak semester I/2007 yang dimiliki DPR dan Ditjen Pajak juga berbeda. Ditjen Pajak menyatakan penerimaan pajak (di luar PPh migas) bruto adalah Rp185,7 triliun, pengeluaran restitusi Rp14,8 triliun sehingga penerimaan pajak (di luar migas) neto adalah Rp170,9 triliun.
Sementara itu, Drajat H. Wibowo dalam makalahnya yang berjudul Kegagalan Penerimaan Pajak yang disajikan dalam seminar Forkem, 13 Agustus 2007, menyebutkan angka Rp172,3 triliun, Rp16,8 triliun dan Rp155,5 triliun. Menurut Drajad, data tersebut diambil dari keterangan resmi yang disampaikan Ditjen Pajak ke Komisi XI DPR.
Perbedaan angka yang sangat signifikan baik angka penerimaan maupun rasio pajak ini jelas membuktikan bahwa administrasi Ditjen Pajak khususnya dan administrasi Depkeu pada umumnya tidak handal.
Jika Departemen Keuangan yang mengklaim dirinya sudah melakukan reformasi birokrasi, dan oleh karena itu berhak menikmati tunjangan khusus pembinaan keuangan negara Rp4,3 triliun per tahun itu saja masih amburadul begini, bagaimana dengan departemen atau instansi lain yang mengelola penerimaan negara bukan pajak (PNBP)? Jangan-jangan mereka malah lupa mencatatnya…. (Parwito/Bisnis Indonesia 22 Agustus 2007)